Saturday, July 5, 2008
Makna Hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam : Maailat Mumiilaat
Oleh :Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan:
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadithsnya Maailaat Mumiilaat?
Jawapan:
Ini hadiths sohih diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sohihnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
"Dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Para lelaki yang di tangannya membawa cambuk seperti ekor lembu yang digunakan untuk mencambuk manusia, dan para wanita yang terbuka pakaiannya, telanjang, sesat dan menyesatkan, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk syurga, dan tidak mendapatkan baunya".
Ini merupakan ancaman yang besar, harus sentiasa berhati-hati dari apa yang diperingatkan. Orang lelaki yang memegang cambuk di tangannya seperti seekor lembu maksudnya adalah yang memukul manusia tanpa alasan yang dibenarkan, baik kerana kedudukannya sebagai polis ataupun lainnya, baik berdasarkan perintah dari pemerintah yang berkuasa atau tanpa perintah dari pemerintah. Sesungguhnya pemerintah hanya boleh ditaati dalam hal yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya ketaatan itu hanya pada perbuatan yang baik"
Dan beliau bersabda pula:
"Tidak boleh taat kepada makhluk dalam perbuatan maksiat kepada Pencipta"
Sedangkan pengertian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"Wanita berpakaian tapi telanjang, sesat dan menyesatkan".
Para ulama menafsirkan erti ‘kaasiyaatun’ wanita yang mendapatkan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘aariyaatun’ ertinya terlepas dari kesyukurannya dengan tidak mengerjakan perbuatan taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak meninggalkan maksiat dan kejahatan, padahal Allah telah memberikan kenikmatan berupa harta dan lainnya kepadanya.
Hadiths ini boleh ditafsirkan pula dengan erti lain, yaitu berpakaian tapi tidak menutupi tubuh badan, kerana terlalu tipis atau terlalu pendek sehingga tidak mencapai pengertian berpakaian yang sebenarnya. Keranna itu, mereka disebut ‘aariyaatun’ yang bererti telanjang, kerana pakaian yang mereka kenakan tidak menutupi auratnya, ‘maailaatun’ ertinya lalai dari penjagaan diri dan istiqomah, yaitu mereka melakukan maksiat dan kejahatan sebagaimana orang yang terbiasa melakukan keburukan dan lalai dalam melaksanakan kewajipan, seperti solat dan sebagainya, ‘maailaatun’ ertinya menyesatkan yang lain, yaitu dengan mengajak lainnya kepada kejahatan dan kerosakan dengan ucapan dan perbuatannya, serta menjadikan yang lain cenderung kepada kerosakan, maksiat dan terbiasa berbuat kejahatan kerana ketiadaan iman mereka, kerana lemahnya iman mereka atau kecilnya iman mereka.
Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
"Mereka tidak akan masuk syurga dan tidak akan merndapatkan baunya"
Merupakan ancaman yang keras, tapi tidak sampai menjadikan mereka atau menjadikan mereka kekal di neraka. Seperti maksiat yang lain, jika meninggal dalam keadaan beragama Islam. Namun mereka dan para ahli maksiat yang lain mendapat ancaman dengan neraka kerana maksiatnya, akan tetapi semua itu terserah pada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila berkehendak, Allah akan memaafkannya dan mengampuni dosanya, atau mengazabnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nisa :
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar" [An-Nisa : 48]
Orang yang masuk neraka dari golongan ahli maksiat tidak akan kekal dalam neraka seperti kekalnya orang kafir. Bahkan kekalnya orang yang membunuh, penzina atau orang yang bunuh diri di neraka tidak seperti kekalnya orang kafir. Kekalnya mereka di neraka ada batasnya menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak seperti Khawarij dan Mu’tazilah serta orang yang mengikuti manhaj mereka dari golongan ahli bid’ah (yang mengatakan bahwa mereka kekal sebagaimana orang kafir, tidak ada batasnya). Hadiths-hadiths sohih banyak diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas umatnya yang termasuk ahli maksiat, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut berkali-kali. Setiap kali mengabulkan syafa’at, digariskan suatu batas, dan membebaskan mereka dari neraka.
Demikian pula para nabi, kaum mukminun, para malaikat, semuanya memberikan syafaat dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan syafa’at kepada para ahli tauhid yang masuk neraka kerana perbuatan maksiatnya. Hanya para ahli maksiat yang tidak termasuk dalam golongan yang mendapat syafa’at dari pemberi syafa’at, maka Allah mengeluarkan mereka dari neraka dengan rahmatNya dan kebaikanNya, hingga tidak ada lagi orang di dalam neraka selain orang-orang kafir yang akan kekal di dalamnya selama-lamanya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
"Tiap-tiap kali nyala api jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya" [Al-Isra : 97]
"Kerana itu rasakanlah. Dan kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain daripada azab" [An-Naba : 30]
Firman Allah tentang kaum kafir dan penyembah berhala:
"Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka ; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka" [Al-Baqarah : 167]
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu (pula) untuk menembus diri mereka dengan itu dari azab hari kiamat, nescaya (tebusan itu) tidak akan diterima dari mereka, dan mereka beroleh azab yang pedih. Mereka ingin keluar dari neraka padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya, dan mereka beroleh azab yang kekal" [Al-Maidah : 36-37]
Dan ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak sekali. Kita memohon kepada Allah kesihatan dan keselamatan dari keadaan tersebut. Amin.
Rujukan : [Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Syaikh Bin Baz 9/355-356]